Di dunia, hanya ada lima unit, Indonesia mendapatkan dua unit," begitu kata penjual Rolls-Royce Phantom Centenary Drophead di Indonesia.
General Manager Auto Glamour Boutique John Winata dengan bangga memperkenalkan Rolls-Royce Phantom Centenary Drophead yang menurut dia "mendapatkan ini saja perjuangannya setengah mati."
Dua mobil itu adalah rangkaian program Rolls-Royce Motor untuk merayakan ulang tahunya yang ke-100 dengan meluncurkan 100 unit Rolls-Royce Phantom di seluruh dunia.
"Salah satu keunikan Rolls-Royce Phantom Centenary adalah warnanya yaitu Ethereal White karena tidak akan ada lagi mobil Rolls-Royce di dunia ini yang akan menggunakan warna tersebut selain (Phantom) Centenary. Indonesia tidak mendapatkan tipe yang coupe," kata Vice President of Sales and Marketing Rolls-Royce Motor Cars Jakarta dan Yudy W. Widodo di Jakarta pada Kamis (29/3).
Kedua mobil yang memiliki dua pintu itu menggunakan mesin V12 dengan kapasitas 5.800 cc yang sanggup menghasilkan tenaga maksimum 453 hp pada 5.350 rpm dan torsi 720 NM pada 3.500 rpm sehingga mobil itu mampu melesat hingga kecepatan maksimum 240 km/jam atau akselerasi 0-100 km/jam hanya pada 5.9 detik.
Menilik sejarahnya, Phantom Drop Head Centenary terinspirasi dari kapal pesiar balap klasik J-Class pada 1930-an yang merupakan kapal termewah dan tercepat di kelasnya. Kedua mobil mewah itu memiliki tudung atap berwarna merah dan biru dengan waktu buka-tutup kurang dari dua menit.
John mengatakan seluruh jok kedua mobil itu dijahit dengan tangan dan beralaskan bulu domba. Emblem kebanggan Rolls-Royce yang berada di depan yaitu Spirit of Ecstasy atau Flying Lady menggunakan bahan perunggu sehingga mengkilap.
"Mengendarai mobil itu (Rolls-Royce Phantom) serasa berada di atas flying carpet (karpet terbang), tidak terasa jika ada jalan berlubang," kata John.
Sayangnya John menolak menyebutkan harga kedua mobil itu kecuali mengatakan "pembayaran paling banyak tunai dan pembelinya yang pasti taat pajak dan memiliki taste yang tinggi."
jenarmahesa
Jumat, 30 Maret 2012
Kamis, 22 Maret 2012
-JenarMahesa Photography-
-JenarMahesa Photography-
Awalnya sih cuma iseng - iseng motret gak jelas.. tapi kok makin ke sini malah banyak calon pasangan yang minta untuk di buatkan foto preweding dan wedding juga.
Usul punya Usul akhirnya merambahlah ke fotography dokumentasi wedding dan preweding.
Mas bro dan mbak sis yang pengen juga pake jasa saya boleh lah contact - contact saya dialamat :
Jl. Inpres XVIII, ciledug, Tangerang.
Panit : 081911181469 ( pin 30B3748)
Yesi : 081911181468 ( pin 2144B1BE ). Thx
Selasa, 20 Maret 2012
Peran dan perilaku Komunikasi Anak Jalanan
Studi Fenomenologi: Peran Diri dan Perilaku Komunikasi Anak Jalanan
1. Aktualisasi Masalah Penelitian
Jumlah anak jalanan di Indonesia
mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun
1998, Kementrian Sosial R.I. menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan
jumlah anak jalanan sekitar 400%. Tahun 1999 diperkirakan jumlah anak
jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak.
Di Provinsi Jawa Barat, setiap tahun,
jumlah anak jalanan terus bertambah baik untuk kota besar seperti Kota
Bandung atau kota-kota lain seperti Cirebon, Indramayu, Tangerang,
Bekasi, dan Garut. Tahun 2001, jumlah anak jalanan yang tersebar di Jawa
Barat adalah 6267 orang, dan tahun berikutnya meningkat 8352 orang.
Sedangkan Kabupaten dengan jumlah yang ekstrim yaitu Bogor 1503 orang,
Cirebon 994 orang, dan Bandung 840 orang. Walaupun tahun 2003
menunjukkan sedikit penurunan menjadi 5183 orang dengan kabupaten yang
terbanyak adalah Kabupaten Garut 594 orang, Majalengka 558 orang dan
Kabupaten Sukabumi 511 orang.
Kabupaten dan Kota Cirebon, memiliki
penyandang masalah sosial yang cukup tinggi. Data 2006 menunjukkan
populasi penyandang masalah sosial anak mencakup; anak terlantar 490
orang, anak nakal 820 orang, anak terlantar 2568 orang dan anak nakal
sendiri sebanyak 983 orang. Dari jumlah penyandang, Kota Cirebon dan
Kabupaten Cirebon memiliki jumlah anak jalanan yang tinggi jika
dibandingkan dengan kabupaten dan kota lain di Jawa Barat.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap
fenomena anak jalanan. Faktor makro yang memunculkan masalah tersebut
yaitu; pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, partisipasi sekolah pada
anak usia sekolah yang memunculkan drop-out, pembangunan
kawasan dan perkotaan yang belum merata, dan masalah kultur. Sedangkan
masalah mikro di dalamnya tercakup; ajakan teman, desakan orang tua
untuk mencari nafkah, rumah tangga yang tidak harmonis, anak dengan
orang tua single parent, dan ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru.
Munculnya masalah anak jalanan di Kota
dan Kabupaten Cirebon, dari sisi makro tidak bisa dihindari. Pertumbuhan
kota di kedua wilayah tersebut, merupakan pendorong anak-anak untuk
mencari nafkah dengan mengemis, mengamen, atau “memalak” di jalanan. Di
samping itu, areal wisata relijius sebagai salah satu sektor andalan
kepariwisataan di Cirebon, seperti Makam Sunan Gunung Jati dan Keraton
Kasepuhan Cirebon, menjadi lokasi anak jalanan mengais rejeki dengan
cara meminta sedekah kepada para pengunjung.
Jika ditelusuri, perbedaan lokasi anak
jalanan menunjukkan adanya perbedaan dalam pola anak mengais rejeki.
Anak jalanan di perkotaan Cirebon, mendapatkan uang dengan cara mengamen
atau ojek payung, dan parkiran. Sedangkan di lokasi wisata, anak-anak
mencari uang dengan cara mengemis, meminta dan mengejar para peziarah.
Keadaan ini tidak terlepas dari kondisi
dan situasi yang mendorong anak untuk turun mencari rejeki. Lingkungan
mereka secara dominan memberikan pembelajaran tentang cara anak-anak
mendapatkan uang. Di tempat ziarah, mengemis, meminta sumbangan
merupakan hal yang lumrah, sehingga anak-anak meniru tindakan tersebut.
Sedangkan, di kota Cirebon jarang ditemukan anak-anak jalanan mencari
uang dengan cara seperti itu. Mereka lebih suka mengamen atau
mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan uang.
Terlepas dari adanya perbedaan perilaku
dalam mendapatkan uang, riset terhadap anak jalanan menggambarkan bahwa,
persepsi tentang mereka berkaitan dengan stigma kekerasan, kriminalitas
dan gangguan sosial. Anak jalanan, di samping menimbulkan masalah
sosial, seperti keamanan, ketertiban lalulintas, dan kenyamanan, juga
memunculkan tindakan kriminal terhadap anak jalanan itu sendiri. Mereka
menjadi komunitas yang rentan terhadap kekerasan dan pelecehan orang
dewasa, penggarukan petugas ketertiban kota, berkembangnya penyakit,
dan konsumsi minuman keras serta zat adiktif atau narkoba.
Anak jalanan didefinisikan sebagai
individu yang memiliki batas usia sampai 18 tahun, dan menghabiskan
sebagian besar waktunya di jalan, baik untuk bermain maupun untuk
mencari nafkah. Realitas pengalaman yang dihadapi tersebut, akan
membangun skema kognitif yang unik dari anak jalanan tentang lingkungan
dengan perilakunya. Realitas yang dimaksud adalah bagaimana mereka
mendapatkan perlakuan dari lingkungan dan bagaimana peran yang harus
dipilih (role taking) ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan.
Anak jalanan telah memiliki tanggung
jawab yang tinggi terhadap keluarga. Makna keluarga bagi mereka adalah
sekelompok orang di mana dia harus ikut ambil bagian dalam menjaga
keberlangsungan hidup mereka. Makna konstribusi terhadap keluarga bagi
anak jalanan adalah seberapa besar uang yang harus disetorkan kepada
orang tuanya dalam rangka membantu kehidupan keluarganya. Di samping
itu, mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri,
misalnya membayar uang sekolah dengan biaya yang didapatkan dari hasil
keringat mereka.
Dalam keadaan seperti itu, tidak
berlebihan jika anak jalanan selalu berada dalam situasi rentan dalam
segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka. Melalui
sitmulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah
nilai-nilai baru dalam perilaku yang cenderung mengedepankan kekerasan
sebagai cara untuk mempertahankan hidup. Ketika memasuki usia dewasa,
kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan
eksplotasi terhadap anak-anak jalanan lainnya.
Di samping itu anak jalanan dengan
keunikan kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi yang berbeda
dengan anak yang normal. Komunikasi intrabudaya anak jalanan dapat
menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang
digunakan oleh mereka. Aspek-aspek tersebut tampak manakala
berkomunikasi dengan sesaman, keluarga, petugas keamanan dan ketertiban,
pengurus rumah singgah, dan lembaga pemerintah. Anak jalanan yang
sudah terbiasa dalam lingkungan rumah singgah dan anak jalanan yang
”liar”, memiliki perilaku dan gaya komunikasi yang berbeda.
2. Disain Studi Fenomenologi
Metode penelitian yang digunakan adalah
Metode Kualitatif dengan tradisi Fenomenologi. Subyek penelitian adalah
anak jalanan pengamen di Kota Cirebon dan anak jalanan pengemis di
Lingkungan Wisata Makam Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Pengumpulan data
menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi partisipatif.
3. Hasil Penelitian: Peran Diri Anak Jalanan dan Perilaku Komunikasi
Anak jalanan memaknai peran diri dalam
keluarga dan masyarakat, sebagai inidividu yang mandiri (tanggung jawab
pada diri dan keluarga), otonom (berusaha melepasakan ketergantungan),
dan individu yang berusaha memiliki relasi sosial dalam konteks di
jalanan. Konstruksi makna peran diri itu sendiri dibangun secara kreatif
dan dinamis di dalam interaksi sosial anak dengan orang-orang dalam
lingkungan jalanan.
Pada anak pengemis, mereka telah memiliki
pemaknaan peran diri sebagai; diri yang memenuhi kebutuhan sendiri dan
mengurangi beban orang tua, diri yang belajar memenuhi kebutuhan sekolah
dan diri yang disuruh dan didukung mengemis. Sedangkan anak pengamen
memiliki pemaknaan peran diri sebagai; diri yang berusaha memenuhi
kebutuhan dasar, diri yang melepaskan ketergantungan pada orang tua,
diri yang memenuhi kebutuhan sekolah dan diri yang mencari hubungan
sosial di jalanan
Selanjutnya, hasil interaksi sosial
anak-anak dengan orang-orang dalam lingkungannya membentuk konstruksi
makna secara subyektif dan obyektif tentang orang dewasa, aturan dan
prinsip-prinsip yang berkembang dalam konteks jalanan. Anak-anak
pengemis menganggap orang dewasa di luar sebagai pengatur karena
memiliki otoritas, dicurigai karena memiliki kepentingan, setara
(sesama pengemis) sehingga mengedepankan persaingan, di samping pula
berkembang anggapan sukarela (kepada peziarah) dan berusaha respek
terhadap senior. Anak-anak pengemis juga menganggap bahwa aturan
mengemis adalah sesuatu yang harus ada dan tidak perlu dipertanyakan (reserve) walaupun sebagai subordinat mereka mencurigai bahwa aturan yang dibuat dipenuhi muatan kepentingan orang dewasa.
Pemaknaan anak pengamen berbeda dengan
anak pengemis. Anak pengamen memaknai orang dewasa sebagai tipikal
dominan negatif, agresif dan menyerang, senantiasa menggunakan paksaan
dan kekerasan dan perlu dilawan jika posisi menguntungkan (konflik).
Dilain pihak juga telah berkembang pemaknaan dengan pola-pola spesifik;
dominan positif dan skeptis terhadap lawan jenis, solidaritas sesama
pengamen dan menghargai wibawa pengamen senior.
Aturan, menurut anak pengamen adalah
sebuah konsensus yang berusaha dipatuhi. Penghasilan dianggap memiliki
nilai publik (berbagi) dan terbuka, mementingkan kelompok, menghormati
senioritas, dan menghargai atau toleran terhadap zona proksemik jalanan.
Disamping itu, mereka memilikia prinsip;
menghindari perbuatan jahat, rasionalisasi terhadap kebiasaan konsumsi
minuman keras/obat dan merokok dimaknai sebagai media interaksi sosial
dengan motif ekonomi dan sosial.
Perilaku komunikasi interpersonal pada
anak jalanan berlangsung secara dominan dengan orang-orang disekitar
jalanan. Perilaku komunikasi interpersonal sendiri berlangsung dalam
situasi; memaksa, otoritatif, konflik, mengganggu (teasing),
membiarkan (bebas), sukarela, dan rayuan. Komunikasi interpersonal
melalui pesan verbal dan nonverbal, secara spesifik disesuaikan dengan
kepentingan dalam menjalankan aktivitas di jalanan. Pesan verbal
mayoritas berupa istilah/kata; yang berhubungan dengan
kekerasan/konflik, panggilan khas (sebutan) kepada orang atau konteks
jalanan, aktivitas jalanan dan pekerjaan. Pesan nonverbal yang
disampaikan berbentuk: gestural, intonasi suara, mimik muka (facial), artifaktual, isyarat bunyi, pakaian (fashion), panataan pakaian/asesoris (grooming) dan penampilan (manner).
Diangkat dari Disertasi Program Ilmu Komunikasi, 2009
Komunikasi menurut ONONG UCHJANA EFFENDY
Onong Uchjana Effendy
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan
oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap,
pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak
langsung (melalui media)
Analisis Pengertian Komunikasi Dan 5 (Lima) Unsur Komunikasi Menurut
Harold Lasswell Sat, 10/11/2007 - 6:54pm — Rejals Analisis Definisi
Komunikasi Menurut Harold Lasswell
Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan
siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat
atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what
effect?). (Lasswell 1960).
Analisis 5 unsur menurut Lasswell (1960):
1. Who? (siapa/sumber). Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak
yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu
komunikasi,bisa seorang individu,kelompok,organisasi,maupun suatu negara
sebagai komunikator.
2. Says What? (pesan). Apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan
kepada penerima(komunikan),dari sumber(komunikator)atau isi
informasi.Merupakan seperangkat symbol verbal/non verbal yang mewakili
perasaan,nilai,gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu
makna,symbol untuk menyampaikan makna,dan bentuk/organisasi pesan.
3. In Which Channel? (saluran/media). Wahana/alat untuk menyampaikan
pesan dari komunikator(sumber) kepada komunikan(penerima) baik secara
langsung(tatap muka),maupun tidak langsung(melalui media
cetak/elektronik dll).
4. To Whom? (untuk siapa/penerima). Orang/kelompok/organisasi/suatu
negara yang menerima pesan dari sumber.Disebut
tujuan(destination)/pendengar(listener)/khalayak(audience)/komunikan/penafsir/penyandi
balik(decoder).
5. With What Effect? (dampak/efek). Dampak/efek yang terjadi pada
komunikan(penerima) setelah menerima pesan dari sumber,seperti perubahan
sikap,bertambahnya pengetahuan, dll.
Contoh: Komunikasi antara guru dengan muridnya. Guru sebagai
komunikator harus memiliki pesan yang jelas yang akan disampaikan kepada
murid atau komunikan.Setelah itu guru juga harus menentukan saluran
untuk berkomunikasi baik secara langsung(tatap muka) atau tidak
langsung(media).Setelah itu guru harus menyesuaikan topic/diri/tema yang
sesuai dengan umur si komunikan,juga harus menentukan tujuan
komunikasi/maksud dari pesan agar terjadi dampak/effect pada diri
komunikan sesuai dengan yang diinginkan.
Kesimpulan: Komunikasi adalah pesan yang disampaikan kepada
komunikan(penerima) dari komunikator(sumber) melalui saluran-saluran
tertentu baik secara langsung/tidak langsung dengan maksud memberikan
dampak/effect kepada komunikan sesuai dengan yang diingikan
komunikator.Yang memenuhi 5 unsur who, says what, in which channel, to
whom, with what effect.
Dokumenter "Belalang KehidupanKu"
PROGRAM DOKUMENTER “ Belalang Kehidupanku”
Production Company : Produser : Pitria Wiguna
Project Title :
Belalang Kehidupanku Director : Panit Raharjo & Baihaqi
Durasi : 30 menit Penulis
Naskah : Eva & Erica
Sebuah
kisah tentang seorang bocah yang berjuang mempertahankan hidupnya melawan kejamnya
dunia dengan belalang sebagai topangan hidup. Bangkit, seorang anak dari sebuah
keluarga di dusun Teguhan Desa Wunung Kecamatan Wonosari Yogjakarta yang serba
kekurangan perekonomian baik sandang maupun pangan, berjuang seorang diri
mencari nafkah dengan memburu belalang. Bersama teman – temannya yang berprofesi
sama, kesehariannya kegiatan mereka pergi ke hutan untuk mencari belalang tanpa
memikirkan bahaya binatang – binatang buas. Meski bangkit putus sekolah akan
tetapi dia anak yang cerdas,dan meski harus merelakan masa kanak – kanaknya
hanya untuk mencari serangga belalang sebagai mata pencaharian untuk makan
dirinya dan menafkahi kakek dan neneknya yang sudah tidak sanggup lagi
melakukan pekerjaan karena faktor usia.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TREATMENT
PROGRAM DOKUMENTER “ Belalang Kehidupanku”
Production Company : Produser : Pitria Wiguna
Project Title :
Belalang Kehidupanku Director : Panit Raharjo & Baihaqi
Durasi :
00 menit Penulis
Naskah : Eva & Erica
Cerita diawali dengan suasana pagi hari di
Desa Wunung Kecamatan Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Disudut desa tepatnya
di dusun Tenguhan terdapat rumah sederhana yang didalamnya tinggal seorang anak
bersama kakek dan neneknya. Bangkit yang sudah ditinggal orang tuanya sejak
kecil terpaksa harus sekolah sambil bekerja. Pagi itu disebuah ruangan kecil
dan sempit, Bangkit bangun dari tidurnya dan langsung pergi kekamar mandi.
Selesai mandi Afi bersiap-siap mengenakan pakaian untuk berladang mencari rumput.
Beberapa saat kemudian Bangkit sudah siap untuk berangkat berladang dan
berpamitan kepada nenek dan kekeknya. Dengan semangat Bangkit membawa alat –
alat untuk berladang. Sesampainya diladang dia langsung terjun mencari rumput
untuk umpan kambing yang ia pelihara . Pekerjaan mencari rumput ia kerjakan
dari pagi hari hingga siang nanti sampai
kira – kira ia mendapatkan rumput yang cukup .
Bangkit kembali kerumah membawa rumput
yang ia dapat untuk kambingnya di rumah. Sesampainya dirumah. Sesampainya
dirumah Bangkit mengganti pakkaian yang biasa dia pakai ke ladang dengan
pakaian sehari-hari kemudian menyantap makan siang seadanya. Setelah perut
terasa kenyang, Bangkit langsung bergegas memepersiapkan alat-alat untuk
berburu serangga belalang. Kali ini dia tidak menggunakan sepeda, perjalanan
menuju hutan ia lakukan dengan berjalan kaki. Bersama beberapa temannya dengan
riang Bangkit melewati jalan terjal dan sungai. Walaupun ada saja hambatan
untuk menuju kehutan, Bangkit dan teman-temannya tidak pernah mengeluh, mereka
tetap semangat demi mendapatkan serangga belalang.
Akhirnya setelah perjalanan yang cukup
melelahkan mereka sampai dihutan dan mulai menyusuri satu pohon ke pohon lain
mencari belalang. Terik matahari dan
bahaya binatang buas seperti ular, harimau dan lainnya tidak menyulutkan semangat
mereka. Dengan alat sederhana Bangkit mulai mendapatkan belalang, satu per satu
belalang itu ia kumpulkan. Panas yang menyengat, Bangkit pun beristirahat di
sebuah gubuk dihutan untuk sejenak melepas lelah sambil melantunkan
nyanyian-nyanyian jawa. Setelah lelahnya terasa berkurang, ia langsung
melanjutkan mencari belalang. Kali ini Bangkit beruntung karena hasil buruannya
lumayan banyak, terkadang buruan yg ia dapat sedikit bahkan tidak dapat sama
sekali.
Hari sudah mulai sore Bangkit pun beranjak
pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang ia menawarkan hasil buruannya tersebut
kepada orang atau warga desa yang membutuhkan belalang tersebut. Bangkit juga
mendatangi rumah-rumah penduduk dengan harapan mau membeli belalang hasil
buruannya. Setelah sebagian terjual Bangkit melanjutkan perjalanan pulang ke
rumah. Setibanya di rumah Bangkit langsung disambut oleh neneknya dan memberikan
uang hasil penjualan belalang serta sisa hasil buruan yang tidak terjual kepada
neneknya.
Setelah beristirahat sebentar, Bangkit
bersiap-siap beranjak menuju masjid untuk mengaji. Walaupun Bangkit tidak
memiliki banyak waktu luang tetapi ia tetap menyempatkan waktu untuk menimba
ilmu agama. Adzan magrib pun berkumandang, Bangkit beranjak mengambil wudhu dan
sholat magrib di masjid. Setelah selesai sholat Bangkit langsung pulang ke
rumah. Di rumah nenek dan kakeknya sudah menunggu Bangkit untuk makan bersama
dengan lauk belalang hasil tangkapannya tadi siang yang sudah diolah oleh neneknya.
Setelah selesai makan meski Bangkit
putus sekolah walaupun dengan penerangan
yang sangat minim. Biarpun keadaannya serba kekurangan, tetapi Bangkit tetap
rajin belajar, dia tidak ingin menyia-nyikan waktu selama ia masih bisa bersekolah.
Malam semakin larut Bangkit pun sudah mulai mengantuk, dia beranjak tidur
karena keesokan harinya harus memulai rutinitasnya lagi.
Masalah
Yang menjadi topik program ini adalah kehidupan seorang anak Pencari
belalang. Dalam kesehariannya belalang serangga yang sering dijadikan konsumsi
bagi masyarakat pinggiran yogyakarta. Serangga belalang tersebut bagi orang
awam mungkin tidak layak untuk di konsumsi, namun masyarakat pinggiran
yogyakarta minoritas mengkonsumsi serangga tersebut sebagai lauk pauk karena
keterbatasan ekonomi. Sehingga beberapa masyarakat tidak mampu membeli lauk
pauk yang layak seperti masyarakat lain. Sesuatu hal yang mungkin tidak banyak orang tau bahwa belalang dapat
dikonsumsi sebagai lauk pauk. Dimana peran pemerintah dalam menanggulangi
kemiskinan di pinggiran kota agar masyarakat tersebut dapat ikut merasakan kehidupan yang layak.
Bangkit seorang seorang bocah kecil yang masih duduk di sekolah dasar.
Setiap hari nya harus melakukan aktifitas seperti halnya orang – orang
kebanyakan. Selain putus sekolah, Ia pun setiap hari harus rela
mengorbankan waktu bermainnya hanya untuk banting tulang mencari serangga
belalang di hutan yang hasilnya untuk di jual dan untuk di konsumsi pula.
Pencarian serangga tersebut ia kerjakan karena himpitan ekonomi dan
ketidakmampuan kakek dan
neneknya untuk bekerja. Aktifitas tersebut mulai dikerjakan Bangkit sepulang dari sekolah
hingga matahari terbenam.
Langganan:
Postingan (Atom)